Sabtu, 04 Desember 2010

otonomi daerah

1.1 Latar Belakang
Saat ini, Indonesia sedang berusaha untuk berbenah diri. Sebelum masa reformasi berdiri, negeri ini dipimpin oleh pemerintah secara sentralistik. Semua hal yang berkenaan dengan kebijakan pemerintahan dikuasai oleh Pusat, sehingga Daerah hanya sebagai pelaksana kebijakan tersebut tanpa dapat secara leluasa untuk menyumbangkan pemikiran ataupun melaksanakan aspirasi rakyat. Otonomi daerah menjadi salah satu topik yang mencuat ke permukaan setelah masuknya reformasi. Berbagai kalangan, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi, bahkan masyarakat umum menjadikan otonomi daerah sebagai wacana dan bahan kajian.
Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah (APKASI,2006d). Sejak awal merdeka sampai sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur otonomi daerah. Diantaranya adalah UU No.1 Tahun 1945 yang menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formal. UU No.22 Tahun 1948 yang memberikan hak otonomi seluas-luasnya kepada daerah. UU No.1 Tahun 1957 menganut sistem otonomi riil yang seluas-luasnya. UU No.5 Tahun 1974 menganut sistem otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Undang-Undang ini berisi tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang pada hakekatnya otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak (APKASI, 2006a). Daerah berkewajiban untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana pencapaian kesejahteraan masyarakat yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Pelaksanaannya telah memberikan dampak bagi penyelenggaraan pemerintahan Daerah. Diantaranya yang paling menonjol selama ini menurut APKASI (2006c) adalah dominasi Pusat terhadap Daerah yang menimbulkan besarnya ketergantungan Daerah terhadap Pusat. Pemerintah Daerah tidak mempunyai keleluasaan dalam menetapkan program-program pembangunan di daerahnya. Sumber keuangan penyelenggaraan pemerintahan pun diatur oleh Pusat.
Menjawab situasi penuh dominasi Pusat, mulai timbul tuntutan agar wewenang pemerintahan dapat didesentralisasikan dari Pusat ke Daerah. Maka pada tanggal 7 Mei 2001 muncullah UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan kembali tentang pelaksanaan otonomi daerah. Undang-Undang ini secara resmi diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah dimulai pada tanggal 1 Januari 2001. Namun karena dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka disusunlah Undang-Undang yang baru, yakni UU No.32 Tahun 2004 yang mulai diundangkan sejak 15 Oktober 2004.
Pengimplementasian kebijakan otonomi daerah meliputi berbagai aspek. Diantaranya adalah hubungan antara Pusat dan Daerah, bentuk dan struktur Pemerintah Daerah, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah, serta hubungan antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat dan pihak ketiga. Pada kenyataannya, implementasi kebijakan tersebut menghadapi berbagai kendala, salah satunya adalah keterbatasan kemampuan Daerah dalam mengembangkan dan mengelola potensi daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah tentunya membutuhkan suatu penyelenggaraan manajemen yang baik agar tercapai cita-cita otonomi daerah dan terkikisnya beberapa kendala yang menghadang. Good governance merupakan kunci utama dalam pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Sayangnya negeri ini memiliki predikat yang buruk tentang good governance di kalangan dunia, yakni dari sebelas negara Asia, Indonesia menduduki peringkat terendah (Dwijowijoto, 2003) sehingga hal ini menjadi kendala tersendiri dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah
Otonomi daerah di Indonesia telah mengalami pergantian dasar pelaksanaan berkali-kali. Namun hingga saat ini, apakah manfaat yang besar dari adanya kebijakan tersebut dapat dirasakan oleh seluruh warga masyarakat Indonesia masih menjadi bahan kajian berbagai kalangan. Oleh karena itu, penulisan ini merumuskan beberapa permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia?
2. Bagaimana posisi dan peranan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah?
3. Bagaimana pentingnya menciptakan good governance dalam pemerintahan daerah?
4. Bagaimana solusi untuk melancarkan otonomi daerah bila dihubungkan dengan good governance?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :
1. Memaparkan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
2. Memahami posisi dan peranan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah.
3. Menjelaskan tentang pentingnya menciptakan good governance dalam pemerintahan daerah.
4. Memberikan solusi untuk melancarkan otonomi daerah dihubungkan dengan good governance.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini adalah :
1. Bagi pemerintah daerah, memberikan masukan agar menyadari akan pentingnya menciptakan good governance dalam melaksanakan pemerintahan di daerah dan dapat mengimplementasikannya secara luas, nyata, dan bertanggung jawab dalam rangka menyukseskan kebijakan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Bagi masyarakat luas, untuk memberikan gambaran mengenai pencapaian target dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat jika otonomi daerah dilaksanakan dengan tingkat good governance yang tinggi dari pemerintah daerah setempat.








BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Otonomi Daerah
Menurut UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tepatnya pada Bab I : Ketentuan Umum Pasal 1, yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom yang selanjutnya disebut Daerah, diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara lebih lanjut dalam pasal 13, Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota;
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sedangkan urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Pasal 21 UU No.32 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, Daerah mempunyai hak:
a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b. memilih pimpinan daerah;
c. mengelola aparatur daerah;
d. mengelola kekayaan daerah;
e. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
f. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;
g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, kewajiban Daerah diatur dalam Pasal 22 yang dijabarkan sebagai berikut:
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administrasi kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2.2 Pemerintahan Daerah
UU No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
2.3 Keuangan Daerah
Biaya penyelenggaraan otonomi daerah telah menjadi tanggungan Daerah melalui APBD, maka penyerahan kewenangan pemerintahan dari Pusat kepada Daerah harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan. Abdullah (2002) menyatakan bahwa Daerah harus mampu menggali sumber-sumber keuangan yang ada di Daerah, selain didukung oleh perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah serta antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 diketahui bahwa sumber pendapatan Daerah terdiri dari :
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD);
b. Dana Perimbangan;
1. Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam.
2. Dana Alokasi Umum (DAU).
3. Dana Alokasi Khusus (DAK).
c. Pinjaman daerah;
d. Lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
Mengenai PAD, pada kenyataannya pendapatan tiap Daerah berbeda. Terjadi suatu kecenderungan bahwa PAD untuk daerah-daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi tinggi dan daerah-daerah yang kaya sumber daya alam akan cukup besar. Maka, DAU yang saat ini merupakan komponen utama dari dana perimbangan, dimaksudkan untuk bisa mengatasi persoalan akibat ketidak merataan distribusi PAD dan bagi hasil SDA . Sayangnya, daerah yang sudah memperoleh bagi hasil SDA besar masih menuntut DAU yang besar pula. Apabila di waktu mendatang persepsi bahwa dana perimbangan yang harus dilihat secara utuh menyeluruh itu bisa dimiliki oleh semua pihak – terutama pihak yang sangat sentral peranannya seperti DPR – maka tidak akan ada kesulitan dalam mencapai tujuan pemerataan dari DAU. Secara umum semestinya mudah dimengerti bahwa daerah-daerah yang relatif sudah (lebih) maju cenderung mampu untuk berdiri sendiri dan hanya sedikit saja bantuan Pusat yang diperlukan .
2.4 Produk Hukum Daerah
Abdullah (2002) menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah ada dua macam produk hukum utama, yaitu Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah. Kewenangan merupakan wujud nyata dari pelaksanaan hak otonomi dari suatu Daerah dan sebaliknya, Perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Sedangkan Keputusan Kepala Daerah disusun untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat mengatur tersebut baru mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dengan menempatkan dalam Lembaran daerah.
2.5 Good Governance
Transparansi (2006) telah memberikan beberapa pengertian mengenai arti dari good governance. Ada sebagian kalangan yang mengartikannya sebagai kinerja suatu lembaga yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Ada pula yang mengartikan sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustainabilitas demokrasi itu sendiri. World Bank mendefinisikannya sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Definisi berbeda disebutkan oleh UNDP (PBB) dalam Dwijowijoto (2003) yaitu good governance sebagai exercise of political, economic, and administrative authority to manage the nation’s affair at all levels. Namun secara ringkas, good governance secara umum diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata “baik” di sini berarti mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance.
Gusri (2005) menyatakan bahwa prinsip-prinsip utama good governance adalah transparansi, akuntabilitas, fairness, dan responsibitas. Transparansi adalah keterbukaan dimana adanya sebuah sistem yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan eksternal dari korporasi. Akuntabilitas dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban secara bertingkat ke atas. Fairness lebih menyangkut moralitas dari organisasi, sedangkan responsibitas adalah pertanggungjawaban terpusat secara kebijakan. Transparansi (2006) memiliki pemikiran yang sama dengan Dwijowijoto (2003), yakni terdapat lima prinsip lagi selain empat prinsip yang disampaikan oleh Gusri. Kelima prinsip tersebut adalah participation, rule of law, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, dan strategic vision.
Participation dimaksudkan bahwa masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah. Rule of law, diharapkan agar kerangka hukum harus adil dan tanpa pandang bulu. Consensus orientation berarti bahwa tata pemerintahan yang baik harus menjembatani kepentingan yang berbeda demi terbangunnya konsensus menyeluruh. Maksud dari equity adalah semua warga memiliki kesempatan untuk memperbaiki dan mempertahankan kesejahteraan mereka. Effectiveness and efficiency bermakna bahwa hasil proses pemerintahan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan menggunakan sumber daya seoptimal mungkin. Sedangkan maksud dari strategic vision adalah pemimpin dan masyarakat harus memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik.










BAB III
METODE PENULISAN

3.1 Jenis Penulisan
Jenis penulisan yang digunakan adalah penulisan berdasarkan data sekunder. Penulisan ini dilaksanakan oleh perorangan dan menggunakan data hasil penelitian dari bahan pustaka yang dijadikan sebagai rujukan. Penulisan ini dilakukan dengan menghubungkan data-data sekunder yang diperoleh dengan disesuaikan pada konteks yang akan dibahas dan dikaji.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Data sekunder diperoleh melalui pencarian referensi yang berasal dari buku-buku, tesis, dan internet. Semua data yang berhubungan dengan judul dan permasalahan yang akan dibahas dikumpulkan untuk selanjutnya dijadikan sebagai bahan rujukan.
3.3 Teknik Analisis Data
Data perolehan dari seluruh bahan pustaka yang telah terkumpul tersebut direduksi, yaitu suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian, serta penyederhanaan data kasar untuk kemudian diproses berdasarkan kelompok-kelompok sub tema yang sama. Setelah itu dimulai untuk menganalisis data dengan mulai dihubungkan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dikaji.




BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Haris (2005) menuliskan bahwa ketika Orde Baru memimpin negeri ini selama kurun waktu tiga puluh dua tahun, seluruh kebijakan pemerintahan yang diciptakan dilandasi oleh paradigma pembangunan. Pembangunan dijadikan sebagai tujuan utama pemerintahan, sehingga peran hakiki yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah yakni sebagai pihak yang melayani dan memberdayakan masyarakat menjadi terabaikan. Hal ini menjadikan sistem pemerintahan bersifat sentralistik sehingga mematikan kreativitas dan daya inovasi Daerah. Daerah menjadi sangat tergantung kepada Pusat. Inilah akar dari hubungan Pusat – Daerah yang bersifat patronase.
Pertengahan tahun 1997, Indonesia dilanda krisis moneter. Pemerintah Pusat dengan bangga dan yakin menyatakan bahwa krisis tersebut dapat segera diatasi dengan baik. Tetapi pada kenyataannya, bahkan hampir sepuluh tahun berlalu, krisis moneter belum juga beranjak dari negeri ini meskipun telah berganti jajaran pemerintahan berkali-kali. Belum ada satu pun yang berhasil membawa Indonesia lepas dari jerat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bukti telah terungkap bahwa Pemerintah Pusat terlalu mengurus masalah-masalah yang seharusnya dapat diurus oleh Daerah sehingga kurang tanggap terhadap permasalahan global yang tengah terjadi.
Diundangkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan jawaban terhadap salah satu tuntutan reformasi, disamping untuk memenuhi aspirasi Daerah. Daerah akan termotivasi untuk menyusun prakarsa dan menciptakan kreativitas dalam memecahkan permasalahan-permasalahan domestik (Abdullah, 2002).
Sudah menjadi sewajarnya bila dalam pengimplementasian otonomi daerah terdapat beberapa kendala yang mewarnai pelaksanaan kebijakan tersebut. Kendala yang dihadapi antara lain :
a. Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap kebijakan otonomi daerah.
b. Inkonsistensi dan melemahnya komitmen sebagian pejabat sektoral di tingkat Pusat terhadap kebijakan otonomi daerah.
c. Belum tersedianya regulasi yang memadai sebagai pedoman dan acuan implementasi otonomi daerah.
d. Keterbatasan kemampuan aparatur pemerintahan di daerah dalam melaksanakan kewenangan Daerah.
e. Keterbatasan kemampuan Daerah dalam mengembangkan dan mengelola potensi daerah.
f. Kecemasan berlebihan dari kalangan dunia usaha terhadap kemungkinan lahirnya kebijakan Daerah yang memberatkan kalangan dunia usaha.
Kendala yang lain adalah tidak dapat dipungkirinya bahwa kondisi obyektif keuangan Daerah di Indonesia yang bercirikan ketidakmerataan. Sidik, et.al. (2002) mengkritisinya dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta bagi hasil pajak dan sumber daya alam. Bagi hasil pajak cenderung menguntungkan daerah-daerah yang perekonomiannya sudah maju dan daerah perkotaan. Sedangkan bagi hasil SDA jelas membuat beberapa daerah dengan SDA yang melimpah menjadi kaya mendadak. Idealnya, permasalahan tersebut dapat dinetralkan oleh DAU yang berfungsi sebagai equalization grants.
Akhir-akhir ini, telah muncul permasalahan otonomi daerah yang baru. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2006 tentang Tunjangan Komunikasi dan Operasional Anggota DPRD, berbagai kalangan menyebut PP tersebut telah melegalkan adanya praktik korupsi di Daerah. Protes terhadap PP tersebut terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia, terutama dilakukan oleh pihak mahasiswa. Dalam Kompas (2007b) disebutkan bahwa PP No.37 Tahun 2006 telah menyebabkan banyak daerah mengalami defisit anggaran sehingga secara otomatis, dana untuk kesejahteraan rakyat menjadi berkurang..
Arif Nur Alam, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia dalam Kompas (2007a) menyatakan bahwa pelaksanaan PP No.37 Tahun 2006 akan melanggar tiga buah UU. Pembayaran tunjangan mulai Januari 2006 tidak dapat diberikan karena dalam Pasal 4 UU No.17 Tahun 2003, Pasal 179 UU N0.32 Tahun 2004, dan Pasal 68 UU No.33 Tahun 2004 dinyatakan bahwa tahun anggaran dimulai dari 1 Januari hingga 31 Desember. Maka, APBD 2007 tidak bisa dialokasikan untuk tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional tahun 2006.
Tampaknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mau mendengarkan aspirasi rakyatnya. Di akhir Januari 2007, seperti yang ditulis Kompas (2007a) presiden menyatakan bahwa UU No.37 Tahun 2006 direvisi dan akan menerbitkan PP pengganti dalam waktu singkat. Bagi para pimpinan dan anggota DPRD yang telah menerima dana “rapelan” harus mengembalikannya paling lambat Desember 2007. Hal ini cukup menggembirakan berbagai kalangan dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar